Kabareskrim: Penyidik Bekerja Bukan Berdasarkan Analisa Semata.

Sebagaimana diketahui, kelahiran Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) salah satunya dilatarbelakangi ketidakmampuan aparat penegak hukum ‘konvensional’, Polri dan Kejaksaan, dalam menangani perkara-perkara korupsi. Publik menilai aparat Polri dan Kejaksaan tidak bekerja maksimal. Tidak hanya itu, integritas mereka pun diragukan.



Kondisi ini ternyata mendapat perhatian khusus dari Kabareskrim Mabes Polri Sutarman. Dia berhasrat ingin mengembalikan kepercayaan publik terhadap penyidik Polri. Untuk itu, Sutarman berjanji akan meningkatkan kemampuan penyidik dalam penanganan kasus-kasus korupsi. Menurut Sutarman, jika kepercayaan publik sudah pulih terhadap Polri, maka dengan sendirinya KPK pun tak diperlukan lagi.



“Saya berjanji untuk meningkatkan kemampuan untuk penyidikan sehingga tidak ada institusi lain,” ujar Sutarman dalam sebuah seminar hukum di Hotel Sultan Jakarta, Jumat (10/2).



Dia menambahkan, kemampuan penyidik Polri perlu ditingkatkan untuk merespon tren perkara korupsi yang terus meningkat.



Di luar itu, Sutarman menyoroti kecenderungan sejumlah pihak yang suka mengomentari penanganan perkara korupsi berdasarkan analisa. Seolah-olah, analisa itu menjadi fakta. Dia khawatir analisa-analisa itu akan mengganggu proses penanganan perkara yang sudah sesuai prosedur.



“Orang berbicara berdasarkan analisa di media dan seolah menjadi fakta. Oleh karena itu kalau tidak tahu mending diam saja,” Sutarman mengkritik.



Dia tegaskan, penyidik tidak bekerja berdasarkan analisa semata. Sesuai prosedur yang berlaku, penanganan perkara korupsi dimulai dari penyelidikan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbuatan tindak pidana. Jika terdapat alat bukti yang cukup, maka berlanjut ke tahap penyidikan.



Sutarman menganalogikan penanganan perkara korupsi dengan penanganan aksi massa yang anarkis. Prinsipnya, aparat Polri akan bertindak tegas sesuai prosedur yang berlaku.



“Nanti kita tembak kalau sesuai prosedur, dan kalau kita benar kita pertanggungjawabkan. Pimpinan yang bertanggungjawab. Bukan anak buah yang disalahkan terus,” ujarnya disambut tepuk tangan peserta seminar.



Sementara itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Andi Nirwanto mengatakan meningkatkan kemampuan penyidik memang menjadi faktor penting dalam penanganan kasus korupsi. Menurutnya, penyidik harus bekerja secara optimal dan profesional agar terdakwa korupsi tidak lolos di pengadilan.



Perlunya meningkatkan kemampuan penyidik Kejaksaan juga sejalan dengan tren tindak pidana korupsi di daerah yang terus meningkat. Kondisi ini antara lain, menurut Andi, adalah imbas dari kebijakan pemekaran wilayah.



“Jabatan baru, korupsi baru di sana. Perlu dilakukan pemberantasan korupsi secara preventif dan represif,” katanya.



Menariknya, berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch, perkara korupsi yang ditangani Kejaksaan dan Polri ternyata tidak surut oleh keberadaan KPK. Sepanjang tahun 2011, misalnya, jumlah perkara korupsi yang ditangani dua lembaga negara itu ‘mengungguli’ KPK. Kejaksaan tercatat menangani 332 kasus, sedangkan Polri 82 kasus. Bandingkan dengan KPK yang hanya 22 kasus.



Di tahun 2011, dalam laporannya, Kejaksaan mengklaim telah menyelamatkan keuangan negara sebesar Rp181,749 miliar dan AS$6760 dari bidang tindak pidana khusus (pidsus). Kemudian, dari bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan mengklaim pihaknya telah menyelamatkan dan memulihkan keuangan negara sebesar Rp35,025 triliun, AS$112 ribu, beserta 4 unit truk.



Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.