Jaksa Kasus Sandal Cocok Hidup di Zaman Hitler

Para sesepuh dunia hukum Indonesia kecewa. Mereka yang tergabung dalam Kelompok Lintas Hukum untuk Perubahan ini menilai penegakan hukum di Indonesia sedang sakit. Bahkan, ada yang menilai penegakan hukum sudah mati.



Salah satu alasannya adalah ketimpangan antara hukuman bagi si miskin dan si kaya. Para penegak hukum dinilai hanya fokus kepada kasus-kasus kecil, seperti kasus pencurian sandal jepit, buah kakao atau semangka.



Salah seorang sesepuh itu, Chairul Imam menyoroti menurunnya kualitas penegakan hukum di Kejaksaan. Mantan Direktur Penyidikan di Kejaksaan Agung (Kejagung) ini mengaku kaget dengan proses peradilan yang terkesan hanya menyasar rakyat kecil ini. “Kami melihat ini semua karena kurang profesionalnya para pelaku penegakan hukum,” jelasnya di Jakarta, Rabu (8/2).



Chairul menilai bila para penegak hukum tahu apa sebenarnya tujuan dari penegakan hukum maka kasus-kasus bernilai ‘kecil’ itu tak akan sampai ke pengadilan. “Tujuan akhirnya kan menciptakan rasa keadilan. Itu yang sering dilupakan oleh para penegak hukum sekarang, termasuk jaksa,” tegasnya.



Lebih lanjut, Chairul bahkan mengaku pernah berdiskusi dengan jaksa yang menuntut perkara-perkara bernilai ‘kecil’ tersebut. “Saya tanya kenapa you tuntut kasus semacam itu. Lalu, dia jawab loh itu sudah memenuhi unsur delik, ya saya tuntut sesuai dengan itu. Kalau cuma berdasarkan unsur, ini cari pikir legalistik formal,” tuturnya.



Chairul mengkritik jaksa seperti ini tak cocok hidup di negara Indonesia. “Saya bilang ke dia, kalau hanya berdasarkan legalistik formal, Anda cocok jadi jaksa di Jerman, di masa Hitler,” tukasnya.



Secara umum, Chairul menilai bahwa mutu penyelidikan dan penyidikan mengalami penurunan di banding ketika ia masih berprofesi sebagai jaksa.



“Saya tak tahu apa sebabnya? Apa karena sejak mahasiswa mutu pelajarannya menurun? Atau setelah mereka menjadi penegak hukum. Bukan hanya di Kejaksaan, tapi juga di Kepolisian, kualitasnya rendah,” katanya.



Dia menegaskan bahwa tidak semua perkara harus berlanjut proses hukumnya hingga ke pengadilan. “Kita yang berada di sini pasti pernah memanjat mangga tetangga. Saya mengaku pernah. Apa kasus semacam ini harus dibawa ke pengadilan? Kan tidak!” tukasnya.



Chairul menuturkan dengan kualitas penegak hukum yang rendah seperti saat ini, maka hanya akan menguntungkan wartawan. “Yang untung wartawan. Bad news is good news. Lalu, mereka kaitkan kasus kecil ini dengan kasus korupsi. Mengapa kasus kecil dihukum, sedangkan kasus korupsi tidak,” nilainya.



Kejagung bukan diam saja melihat persoalan ini. Sebelumnya, Jaksa Agung Basrief Arief memahami kritikan masyarakat. Ia mengatakan Kejaksaan ke depan akan berupaya tak membawa kasus-kasus wong cilik ini ke pengadilan.



“Untuk itu, ke depan, hal-hal begitu tidak perlu ke pengadilan. Ini harus ada pengertian dari semua lini aparat penegak hukum. Baik dari penyidik, jaksa penuntut umum, maupun hakim,” ujarnya, Jumat lalu.



Namun, tak semua setuju bahwa kasus wong cilik ini harus dilupakan begitu saja. Hukum tetaplah hukum. Siapa pun yang melanggar –walau itu wong cilik- tetap saja harus diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Pendapat ini dianut oleh Ketua Komisi III DPR Benny K Harman.



“Siapapun mencuri sandal atau pisang, ya harus diproses secara hukum. Orang yang masuk masjid sekalipun bila dia mencuri sandal tetap harus dihukum. Ini bagian dari penegakan hukum,” ujar Benny,



Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.